Sejarah Desa
<p style="margin: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:150%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif"><span lang="EN-US" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:150%"><span bookman="" old="" style="">Menyusun sejarah Desa Mengwitani  memang sulit sekali, karena bahan – bahan untuk menyusun suatu sejarah boleh dibilang tidak ada sama sekali di Mengwitani ini, diantaranya; prasasti, tulisan – tulisan dan data – data autentik lainnya yang bisa di pertanggung jawabkan kebenarannya. Oleh karena itu kami tidak menggunakan istilah “Sejarah“ tetapi terbatas sampai dengan istilah “Asal – Usul” Desa Mengwitani inipun terbatas cuma dari segi nama Mengwitani itu saja,tidak dari segi – segi lainnya. Demikian pula bahan – bahan penyusunannya cuma berdasarkan “Cerita” dari mulut ke mulut belaka, jadi jelas sifatnya kurang ilmiah.</span></span></span></span></span></span></p> <p style="margin: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:150%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif"><span lang="EN-US" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:150%"><span bookman="" old="" style="">Konon dijaman dahulu, semasih pulau Bali ini penuh dengan hutan  belantara, tersebutlah suatu daerah dibagaian tengah Pulau Bali yang kelebatan semak belantaranya melebihi daerah – daerah lainnya, dengan suatu puncaknya yang menjulang tinggi yang disebut “<i>Puncak Pangelengan</i>” terletak dibagaian utara daerah tersebut, penghuninya terdiri dari para Manusia yang masih primitif, liar dan buas hampir mendekati sifat – sifat raksasa, sehingga sedikitpun tidak ada rasa gotong royong atau persaudaraan diantara mereka, pertengkaran – pertengkaran, perkelahian, pembunuhan serta peperangan selalu terjadi hampir setiap saat, sehingga bangkai atau mayat – mayat selalu bergelimpangan dimana – mana tiada habis – habisnya, menimbulkan bau busuk yang menyebar luas kemana – mana (bahasa Bali : bau busuk yang menyengat = mangweng).</span></span></span></span></span></span></p> <p style="margin: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-size:11pt"><span style="line-height:150%"><span style="font-family:Calibri,sans-serif"><span lang="EN-US" style="font-size:12.0pt"><span style="line-height:150%"><span bookman="" old="" style="">Karena daerah itu memang subur, maka banyaklah orang – orang luar yang ingin mendiami Daerah itu. Beberapa saat kemudian datanglah rombongan orang – orang dari sebelah barat yang peradabannya sudah agak tinggi ke Daerah tersebut dan bermukim disana. Dengan sendirinya perang besar tak dapat dihindari lagi. Untuk pertahanan, pendatang – pendatang baru itu membuat suatu benteng berbentuk atau dengan teknik seperti Gua “Tetani” yaitu semacam gua yang didalamnya penuh lorong – lorong dan kamar – kamar yang lengkap untuk  penyimpanan makanan tempat tidur dan lain – lainnya, serta jebakan – jebakan untuk membinasahkan musuh Tetani ( Bhs. Bali ) berarti rayap. Lama – kelamaan  kalahlah orang – orang biadab yang merupakan bekas penghuni daerah itu dan musnah. Bangkai bergelempangan tiada terhitung banyaknya, menimbulkan bau yang “<i>Mangweng</i>” mulailah penghuni baru yang merupakan nenek moyang penduduk Desa Mengwitani sekarang, berbenah diri dengan peradaban barunya. Untuk mengenang peristiwa tersebut, mulai saat itu diberi nama “ <i>Mangweng Tetani </i>” kemudian menjadi <i>“Mangu Tetani”</i> dan akhirnya menjadi <b>“MENGWITANI”</b> sampai kini. Puncak Pangelenagnpun disebut juga Punca Mangu.</span></span></span></span></span></span></p>
25 May 2021